Di balik musik cadas dan liuk rock & roll
Crossover: Eben Burgerkill dan Abdee Negara
Di balik musik cadas dan liuk rock & roll, ada dua orang seniman yang fokus serta siap bekerja keras demi tujuannya.
Jakarta - Semenjak pertengahan ‘90-an, Aries ‘Eben’ Tanto, pria kelahiran Jakarta, 26 Maret 1975 ini, sudah punya misi yang pasti di kepalanya. Ia ingin Burgerkill, band hardcore yang digagasnya, menjadi salah satu band yang bertaji di Indonesia.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Gitaris band asal Ujungberung, Bandung, ini memiliki mimpi-mimpi besar. Nekat dan kerja keras ia sadari adalah elemen yang harus menjadi pasak utama dalam membangun istana metalnya.
Logika sederhana pun terbuktikan, bahwa dedikasi dan kerja keras pada akhirnya berujung kepada dirinya memetik buah keberhasilan. Burgerkill adalah band hardcore pertama yang dirilis di major label dan didistribusikan ke seluruh nusantara. Dan yang paling penting, Burgerkill merupakan band metal Indonesia pertama yang diundang untuk tur ke Australia, termasuk untuk tampil di festival internasional di Australia seperti Soundwave Festival dan Big Day Out.
“Bermain musik cadas atau metal, tidak ada itu jalan yang lancar-lancar saja.” (www.duniarockmetal.blogspot.com)
Kalimat ini disepakati oleh Eben. Baru-baru ini ia bersama bandnya baru saja merilis sebuah DVD dokumenter berjudul We Will Bleed yang memaparkan perjalanan Burgerkill di jagat musik metal Indonesia (dan juga luar negeri). Penonton DVD ini dijamin akan segera menyadari bahwa Burgerkill memang layak mengecap kesuksesannya saat ini.
Pria di sisi lain rubrik ini adalah Abdi ‘Abdee’ Negara Nurdin, gitaris band rock terbesar di Indonesia, Slank. Pria kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, 28 Juni 1968. Pria yang sebelumnya terkenal sebagai salah satu gitaris session paling laku di Indonesia ini bergabung dengan Slank pada 1997.
Salah satu yang diperhatikan Rolling Stone Indonesia ialah apa yang terlihat di media atau citra yang ditawarkan belum tentu seperti aslinya. Bila orang menganggap Abdee datang dari band rock & roll yang telah melalui segala macam naik turun kehidupan seorang rockstar, maka sikap keseharian sebenarnya bertolak belakang dari citra rocker yang hanya mengandalkan sikap rockstar bandel untuk mendapatkan kredibilitas.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Kenyataannya, ia adalah seorang pria yang fokus dengan tujuannya, sopan dengan tutur bicara yang runut dan teratur serta memiliki kecerdasan yang tinggi. Sama seperti Eben, musik cadas metal dengan lirik-lirik gelap dan geram adalah kulitnya, isinya adalah seorang pekerja keras yang tahu apa maunya, serta supel ketika bergaul.
Penggabungan Abdee dan Eben terbukti menarik, pembicaraan mereka meliputi berbagai hal yang penting. Termasuk senasibnya mereka setelah sempat menjadi bulan-bulanan aparat yang melakukan pencekalan tak resmi terhadap pertunjukan mereka. Ada pula perbincangan mengenai fanatisme penggemar, serta mengenai kesempatan untuk melanglang buana membawa musik mereka ke khalayak baru di luar negara kita.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
EBEN: Gue mengikuti karya-karya Slank sejak awal. Bagaimana rasanya menggantikan Pay?
Abdee: Nggak kepikiran sih. Karena gue sebelum masuk ke Slank itu sudah terbiasa menjadi session atau additional player. Jadi cara berpikir gue itu, “This is another job”. Begitu gue di atas panggung, mindset gue masih sebagai addtional player. Ada band yang kehilangan gitaris sedang membutuhkan seorang gitaris, gue hadir di sana sebagai gitarisnya. Jadi saat gue masuk, gue tidak merasa menggantikan siapa-siapa, jadi tidak ada beban apa-apa.
Tapi elo tahu kan, Mas, kalau Slankers itu fanatik dengan para anggota Slank?
Awal-awal sih memang ya. Gue ingat pertama kali itu di Bandung Indah Plaza tahun 1997. Kapasitas 3000-an orang. Gue waktu itu disuruh menghafal sekitar 40-an lagu dalam waktu tiga hari. Awalnya gue diajak Ivan untuk datang dan nge-jam di Potlot, nge-jam blues. Gue pikir, “Memangnya anak Slank bisa ngeblues?” [tertawa]. Gue kan nggak tahu ya, gue tahunya cuma lagu “Terlalu Manis”, “Maafkan”. Ada Ridho juga waktu itu, dan ternyata asyik. Anak Slank jago juga nih ngeblues.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Ternyata itu adalah sebuah audisi. Selesai nge-jam, mereka kasih 45 lagu untuk dipelajari karena tiga hari lagi mau main di Bandung, bawa 30 lagu. Zaman itu Slank kalau manggung biasa main 30 lagu, kadang lebih. Nah, di Bandung itulah gue pertama kali bertemu dengan Slankers. Hampir semua artis solo Indonesia sebelumnya sudah pernah gue iringi, tapi begitu lihat Slankers gue pikir, “Wah, ini beda nih!” [tertawa].
Penonton yang di depan itu menunjuk-nunjuk gue karena nggak suka, teriak-teriak juga. Ini terus berlangsung selama 20 lagu. Tapi mulai lagu ke 25 mulai joget-joget asyik. Yang tadinya jari tengah di atas berubah juga menjadi jempol. Di tahun-tahun awal masih seperti ini, banyak yang nggak terima kalau jagoan-jagoan mereka yang formasi lima orang dulu sudah beda sekarang. Tapi gue, Ridho dan Ivan dari awal memang nggak ingin menggantikan mereka, ini memang adalah Slank yang baru. Jadi kalau suka ya bagus, kalau nggak suka ya nggak apa-apa, tinggalkan saja.
Makanya gue tanya karena ini kejadian juga di Burgerkill, karena setelah meninggalnya Ivan, dan digantikan Vicky, lebih banyak yang kontra dibanding yang pro. Mungkin karena penokohan sudah jadi. Makanya seorang yang bisa melewati titik ini gila banget, butuh mental. Oke, next question, apa pengalaman terparah yang berhubungan dengan Slankers?
Apa ya? Mungkin ada dulu kejadian Slank bersama security harus berjalan menembus ribuan orang. Kemudian gue jalan paling belakang. Yang lain lolos sedangkan gue terlepas dari rombongan. Itu ada ribuan orang mau ambil apa saja dari badan gue. Gila itu. Gue pakai kalung dari kulit, ditarik orang-orang sampai gue tercekik. Ini terjadi di Palembang.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Dulu di Manado, kami lagi manggung, gue dan Bimbim lagi berbagi mikrofon untuk backing vokal. Tiba-tiba di depan ada penonton yang selalu mengacungkan jari tengah. Kami sudah bilang ke dia, jangan begitu, begini saja jarinya, dua jari lambang peace. Tapi dia terus pakai jari tengah. Akhirnya ada kejadian Bimbim lompat ke penonton untuk memukul dia. Selesai manggung kami balik ke hotel. Semua sudah di kamar, gue masih di luar karena banyak kawan gue anak Manado yang kumpul. Tapi ada yang bilang ke gue, “Jangan keluar, Mas. Di luar ada puluhan orang yang mencari. Katanya, mereka kumpulan orang yang tadi dipukul.”
Waduh...
Kisah selengkapnya Nanti \m/
\m/Di balik musik cadas dan liuk rock & roll, ada dua orang seniman yang fokus serta siap bekerja keras demi tujuannya.
Jakarta - Semenjak pertengahan ‘90-an, Aries ‘Eben’ Tanto, pria kelahiran Jakarta, 26 Maret 1975 ini, sudah punya misi yang pasti di kepalanya. Ia ingin Burgerkill, band hardcore yang digagasnya, menjadi salah satu band yang bertaji di Indonesia.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Gitaris band asal Ujungberung, Bandung, ini memiliki mimpi-mimpi besar. Nekat dan kerja keras ia sadari adalah elemen yang harus menjadi pasak utama dalam membangun istana metalnya.
Logika sederhana pun terbuktikan, bahwa dedikasi dan kerja keras pada akhirnya berujung kepada dirinya memetik buah keberhasilan. Burgerkill adalah band hardcore pertama yang dirilis di major label dan didistribusikan ke seluruh nusantara. Dan yang paling penting, Burgerkill merupakan band metal Indonesia pertama yang diundang untuk tur ke Australia, termasuk untuk tampil di festival internasional di Australia seperti Soundwave Festival dan Big Day Out.
“Bermain musik cadas atau metal, tidak ada itu jalan yang lancar-lancar saja.” (www.duniarockmetal.blogspot.com)
Kalimat ini disepakati oleh Eben. Baru-baru ini ia bersama bandnya baru saja merilis sebuah DVD dokumenter berjudul We Will Bleed yang memaparkan perjalanan Burgerkill di jagat musik metal Indonesia (dan juga luar negeri). Penonton DVD ini dijamin akan segera menyadari bahwa Burgerkill memang layak mengecap kesuksesannya saat ini.
Pria di sisi lain rubrik ini adalah Abdi ‘Abdee’ Negara Nurdin, gitaris band rock terbesar di Indonesia, Slank. Pria kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, 28 Juni 1968. Pria yang sebelumnya terkenal sebagai salah satu gitaris session paling laku di Indonesia ini bergabung dengan Slank pada 1997.
Salah satu yang diperhatikan Rolling Stone Indonesia ialah apa yang terlihat di media atau citra yang ditawarkan belum tentu seperti aslinya. Bila orang menganggap Abdee datang dari band rock & roll yang telah melalui segala macam naik turun kehidupan seorang rockstar, maka sikap keseharian sebenarnya bertolak belakang dari citra rocker yang hanya mengandalkan sikap rockstar bandel untuk mendapatkan kredibilitas.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Kenyataannya, ia adalah seorang pria yang fokus dengan tujuannya, sopan dengan tutur bicara yang runut dan teratur serta memiliki kecerdasan yang tinggi. Sama seperti Eben, musik cadas metal dengan lirik-lirik gelap dan geram adalah kulitnya, isinya adalah seorang pekerja keras yang tahu apa maunya, serta supel ketika bergaul.
Penggabungan Abdee dan Eben terbukti menarik, pembicaraan mereka meliputi berbagai hal yang penting. Termasuk senasibnya mereka setelah sempat menjadi bulan-bulanan aparat yang melakukan pencekalan tak resmi terhadap pertunjukan mereka. Ada pula perbincangan mengenai fanatisme penggemar, serta mengenai kesempatan untuk melanglang buana membawa musik mereka ke khalayak baru di luar negara kita.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
EBEN: Gue mengikuti karya-karya Slank sejak awal. Bagaimana rasanya menggantikan Pay?
Abdee: Nggak kepikiran sih. Karena gue sebelum masuk ke Slank itu sudah terbiasa menjadi session atau additional player. Jadi cara berpikir gue itu, “This is another job”. Begitu gue di atas panggung, mindset gue masih sebagai addtional player. Ada band yang kehilangan gitaris sedang membutuhkan seorang gitaris, gue hadir di sana sebagai gitarisnya. Jadi saat gue masuk, gue tidak merasa menggantikan siapa-siapa, jadi tidak ada beban apa-apa.
Tapi elo tahu kan, Mas, kalau Slankers itu fanatik dengan para anggota Slank?
Awal-awal sih memang ya. Gue ingat pertama kali itu di Bandung Indah Plaza tahun 1997. Kapasitas 3000-an orang. Gue waktu itu disuruh menghafal sekitar 40-an lagu dalam waktu tiga hari. Awalnya gue diajak Ivan untuk datang dan nge-jam di Potlot, nge-jam blues. Gue pikir, “Memangnya anak Slank bisa ngeblues?” [tertawa]. Gue kan nggak tahu ya, gue tahunya cuma lagu “Terlalu Manis”, “Maafkan”. Ada Ridho juga waktu itu, dan ternyata asyik. Anak Slank jago juga nih ngeblues.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Ternyata itu adalah sebuah audisi. Selesai nge-jam, mereka kasih 45 lagu untuk dipelajari karena tiga hari lagi mau main di Bandung, bawa 30 lagu. Zaman itu Slank kalau manggung biasa main 30 lagu, kadang lebih. Nah, di Bandung itulah gue pertama kali bertemu dengan Slankers. Hampir semua artis solo Indonesia sebelumnya sudah pernah gue iringi, tapi begitu lihat Slankers gue pikir, “Wah, ini beda nih!” [tertawa].
Penonton yang di depan itu menunjuk-nunjuk gue karena nggak suka, teriak-teriak juga. Ini terus berlangsung selama 20 lagu. Tapi mulai lagu ke 25 mulai joget-joget asyik. Yang tadinya jari tengah di atas berubah juga menjadi jempol. Di tahun-tahun awal masih seperti ini, banyak yang nggak terima kalau jagoan-jagoan mereka yang formasi lima orang dulu sudah beda sekarang. Tapi gue, Ridho dan Ivan dari awal memang nggak ingin menggantikan mereka, ini memang adalah Slank yang baru. Jadi kalau suka ya bagus, kalau nggak suka ya nggak apa-apa, tinggalkan saja.
Makanya gue tanya karena ini kejadian juga di Burgerkill, karena setelah meninggalnya Ivan, dan digantikan Vicky, lebih banyak yang kontra dibanding yang pro. Mungkin karena penokohan sudah jadi. Makanya seorang yang bisa melewati titik ini gila banget, butuh mental. Oke, next question, apa pengalaman terparah yang berhubungan dengan Slankers?
Apa ya? Mungkin ada dulu kejadian Slank bersama security harus berjalan menembus ribuan orang. Kemudian gue jalan paling belakang. Yang lain lolos sedangkan gue terlepas dari rombongan. Itu ada ribuan orang mau ambil apa saja dari badan gue. Gila itu. Gue pakai kalung dari kulit, ditarik orang-orang sampai gue tercekik. Ini terjadi di Palembang.
(www.duniarockmetal.blogspot.com)
Dulu di Manado, kami lagi manggung, gue dan Bimbim lagi berbagi mikrofon untuk backing vokal. Tiba-tiba di depan ada penonton yang selalu mengacungkan jari tengah. Kami sudah bilang ke dia, jangan begitu, begini saja jarinya, dua jari lambang peace. Tapi dia terus pakai jari tengah. Akhirnya ada kejadian Bimbim lompat ke penonton untuk memukul dia. Selesai manggung kami balik ke hotel. Semua sudah di kamar, gue masih di luar karena banyak kawan gue anak Manado yang kumpul. Tapi ada yang bilang ke gue, “Jangan keluar, Mas. Di luar ada puluhan orang yang mencari. Katanya, mereka kumpulan orang yang tadi dipukul.”
Waduh...
Kisah selengkapnya Nanti \m/
0 komentar:
Post a Comment